Ziarah ke Makam Saichona Moh. Kholil di Bangkalan, Madura

 
Keterangan Foto: Kakak Ipar sedang Berpose di Depan Masjid Syaikhona Kholil

Bulan April 2016 penulis berziarah ke Makam Saichona Moh. Kholil di Bangkalan, Madura. Perjalanan tersebut sekaligus mengantar beberapa saudara yang datang dari Jawa Tengah.
 
Dari situs http://www.pulaumadura.com diperoleh informasi bahwa kompleks pesarean (makam) KH Moh Kholil di Desa Mertajasah, Kecamatan Kota Bangkalan dengan luas 2.768 m2. Pesarean yang dirawat para cucu KH Moh Kholil, boleh dikatakan lengkap untuk kepentingan para peziarah dan ahli tirakat. Dari masjid untuk bersembahyang, aula sebagai peristirahatan peziarah, terutama bagi yang ingin bermalam. Demikian pula kantor pengurus yang dijaga setidaknya 5 orang sebagai tugas harian.
Dari pusat kota Bangkalan, makam itu hanya berjarak 4 km. Setiap hari tak kurang ratusan peziarah berkunjung ke makam tersebut. Tentu saja, kedatangan para peziarah tidak hanya ingin dzikir atau berdoa di pesarean Syekh Moh Kholil. Namun ada permohonan yang tersirat dari kalbu mereka. Diantaranya memohon barokah ingin cepat segala hajatnya terkabul, ingin sembuh dari penyakit. Mencari jodoh, ingin naik pangkat.

KH. Moh. Kholil menjadi tokoh panutan umat semasa hidupnya, dilahirkan hari selasa, 11 Jumadil Akhir 1225 H (1835 M) di Kampung Pasar Senen, Desa Demangan, Kecamatan Kota Bangkalan. Beliau adalah anak Kyai Abdul Latief, semasa pemerintahan Adipati Setjodiningrat III atau dikenal dengan nama Sultan Bangkalan II yang diangkat oleh Raffles. (Sumber: http://www.pulaumadura.com/2014/12/sejarah-dan-kisah-tentang-syaichona-moh.html).
Sejak kecil, KH Moh Kholil oleh ayahnya diharapkan bisa menjadi pemimpin umat, seperti halnya Sunan Gunung Jati yang merupakan Waliullah, pemimpin dan pejuang Islam terkenal. Dambaan itu mengingat masih ada keturunan dengan Sunan Gunung Jati.
Beliau yang kala itu sudah menunjukkan keistimewaan bila dibanding anak-anak seusianya, dididik sendiri oleh sang ayah dengan pengawasan ketat. Ilmu-ilmu yang diajarkan, terutama Ilmu Fiqih dan Ilmu Nahwu dikuasai dengan luar biasa. Telah hafal dengan baik Nadham Al-fiah Ibnu Malik (1000 Bait Ilmu Nahwu)
Mulai Tahun 1850, Kholil mudah belajar ngaji kepada Kyai Muhammad Nur di Pesantren Langitan, Tuban. Kemudian melanjutkan ke Pesantren Canga'an, Bangil Pasuruan, dan selanjutnya ke pondok Darus Salam Kebun Candi, Pasuruan. Selama Kholil muda mondok dipesantren meminta orangtuanya agar tidak mengirim apapun. Maksudnya, agar ia hidup mandiri.
 
Semasa mondok di Candi, beliau juga menambah pengetahuan agamanya ke Sidogiri Pasuruan yang berjarak sekitar 7 KM ditempuhnya dengan jalan kaki setiap hari. Dalam perjalanan itu beliau menyempatkan membaca Surat Yasin hingga khatam berkali-kali.
Keinginan untuk menambah ilmu agama diteruskan ke tanah suci Mekkah, sekaligus ingin menunaikan ibadah haji. Untuk itu Kholil muda pindah lagi di pesantren Banyuwangi yang mempunyai kebun kelapa sangat luas. Selama mondok disana beliau bekerja sebagai pemanjat kelapa yang dapat upah 2,5 sen setiap pohonnya.
Dari penghasilan itu uangnya ditabung untuk naik Haji. Bahkan di Pondok pun beliau menjadi juru masak rekan-rekannya sehingga beliau bisa makan bersama.

Baru tahun 1859 beliau Naik Haji ke Mekkah. Namun sebelumnya oleh Orang Tuanya dinikahkan dengan Nyai Asyek, Putri dari Lodra Putih yang menjadi Patih pada pemerintahan saat itu. Ketika menikah, umur beliau 24 Tahun.
Pernikahan dengan Nyai Asyek dikarunia 2 anak, Siti Fatimah dan Mohammad Hasan. Menginjak dewasa, Siti Fatimah dikawinkan dengan Muntaha yang dikenal dengan sebutan KH. Muhammad Thoha, yang kemudian mengasuh pondok di Jengkebuan Bangkalan yang saat ini diasuh oleh KH. Mahfud Hadi (Saat ini beliau telah meninggal dunia) yang juga anggota DPRD Bangkalan.
Lima tahun berada di Mekkah, KH. Moh Kholil kemudian pulang ke Tanah Air, beliau dikenal sebagai ahli Fikh dan tasawuf membuat disegani kyai-kyai lain. beliau dianggap mempunyai ilmu yang dapat mengetahui sebelum kejadian terjadi. Sepulang dari Mekkah itulah beliau mendirikan pondok di Demangan. Untuk mendirikan pondok baru ini beliau diberi tanah oleh raja di pinggir jalan tengah kota. 
 
Pusara KH Moh Kholil yang dikeramatkan itu boleh dikatakan sangat sederhana. Sebab hanya ditandai oleh dua buah batu nisan yang dibungkus oleh puluhan kain putih. Sehingga tampak nisan tersebut sangat besar. Kain putih tersebut dipasang oleh para peziarah yang merasa hajatnya telah dikabulkan.

Pusara KH Moh Kholil bersebelahan dengan pusara anaknya, yaitu KH Moh Imron Kholil, sedang di sebelah selatanya terdapat pusara menantunya. Yaitu KH Muntaha, ketiga pusara itu berada dalam satu tempat yang terpisah dengan makam-makam yang lain.
 
Kompleks makam ini lebih mudah dijangkau bila melewati Pelabuhan Kamal, jadi kami naik feri menuju Tanjung Perak Surabaya.
 
Berikut ini beberapa foto bagian masjid yang terekam.



 Pamekasan, 8 Juni 2016
 

Komentar

Postingan Populer