Mudik...Oh Mudik



Lebaran baru saja berakhir dengan segala hingar bingarnya. Hari ini saya (dan jutaan warga lainnya) kembali menjalani rutinitas pekerjaan.

Sebagai PNS yang tidak mengambil jatah cuti, saya kebagian mudik H-1 yaitu hari Kamis pagi tanggal 16 Juli 2015. Perjalanan mudik dari Sidoarjo ke Karanganyar, Surakarta berlangsung lebih dari 11 jam. Suami tercinta mampu seharian mengemudi dalam keadaan puasa (good job honey...very proud of you...) sementara istri dan kedua anaknya tidur (bahkan berselimut untuk menahan dinginnya AC mobil).

Nenek saya berumur lebih dari 90 tahun, merupakan salah satu warga tertua di desa. Karena tubuhnya sudah amat ringkih ditambah dengan pengelihatan yang terenggut oleh katarak maka beliau selalu berbaring di tempat tidur dan memakai pampers sepanjang hari. Namun semangat hidupnya masih menggelora, terdengar dari nada bicaranya yang terdengar sangat gembira menerima kunjungan handai taulan dan para tetangga saat lebaran.

Oh ya...nenek merupakan tuan rumah favorit bagi anak-anak kampung saya karena tiap tahun membagikan lebih dari 200 angpau untuk tamu-tamu kecilnya. Isinya bervariasi dari Rp 4.000,- hingga Rp 15.000,-. Semuanya menggunakan uang cetakan baru.

Tujuan mudik lainnya adalah Wonogiri, tempat kelahiran suami tersayang. Kabupaten Wonogiri terletak di sebelah selatan Kota Solo, tepatnya setelah melewati Kabupaten Sukoharjo. Seperti namanya, Wonogiri berasal dari kata 'wono' artinya hutan dan kata 'giri' yang berarti gunung maka Wonogiri dihiasi oleh pemandangan hutan dan deretan pegunungan. Biasanya berhawa dingin saat pagi dan malam hari.

Wonogiri terkenal dengan adanya pabrik jamu Air Mancur serta Waduk Gajah Mungkur (merupakan hulu Sungai Bengawan Solo, sungai terpanjang di Pulau Jawa). Dahulu banyak sekali penduduk Wonogiri yang merantau ke Jakarta atau kota-kota lainnya mencari nafkah dengan berdagang jamu. Profesi lain yang terkenal adalah pedagang bakso dan mie ayam (walaupun banyak yang melabeli dagangannya dengan bakso maupun mie ayam Solo...hehehe).

Jaman dulu Wonogiri terkenal sebagai daerah miskin dan tandus. Makanan utamanya berasal dari singkong alias ubi kayu. Makanan olahannya merupakan turunan dari singkong berupa gaplek (singkong yang dikupas dan dikeringkan), gatot (gaplek yang dipotong kecil-kecil lalu direndam hingga berwarna kehitaman lalu dikukus) serta tiwul (yaitu gaplek yang ditumbuk halus lalu dikukus dan dibumbui kelapa parut plus gula merah). Namun saat ini daerah ini telah berubah menjadi lebih hijau dan makmur (antara lain berkat adanya irigasi dari waduk). Keadaan penduduknya relatif makmur (dilihat dari rumah-rumah penduduk yang bagus, jalan-jalan yang beraspal halus, rapi, dan bersih).

Bagi saya, tak lengkap rasanya jika ke Wonogiri tanpa menikmati mie pentil (karena rasanya kenyal) dengan sayur pecelnya (bisa dibeli di Pasar Kota Wonogiri dengan harga Rp 2.000,- per bungkus).

Saat lebaran seperti ini maka Kota Wonogiri ibarat bagian dari Jakarta karena saking banyaknya mobil plat B yang berlalu-lalang di seantero kota. Rupanya banyak perantau ke Jakarta yang telah sukses dan menjadi orang kaya di sana.

Untuk rute balik, dari Wonogori kami menyeberang Ponorogo menuju Madiun lalu melewati Nganjuk, Jombang, Mojokerto, dan berakhir di my home sweet home di Sidoarjo.

Oke pemirsaaa...met lebaran ya...mohon maaf bila ada salah-salah tulis ...



Komentar

Postingan Populer